Sabtu, 26 Juli 2014

Allah Mengampuni Hamba Nya Yang Bertaubat






BISMILLAHIRAHMAANNIRRAHIIM


TAUHID: artinya menerapkan persaksian bahwa Tiada Tuhan -yang haq- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Siapa saja yang mati dalam kondisi bertauhid tersebut, maka dia berhak mendapatkan keselamatan dan masuk surga. Mengenai hal ini, terdapat hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bahwa beliau bersabda (artinya),

  • "Barangsiapa yang akhir ucapannya di dunia (ketika mati) adalah 'Lâ ilâha Illallâh' maka wajahnya diharamkan atas api neraka (untuk disentuh)." 

Dari Anas bin Malik, dia berkata,

"Aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

'Allah Ta'ala berfirman,
  • 'Wahai Anak Adam (manusia)! Sesungguhnya apa yang kamu minta dan harapkan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosa- dosamu dan Aku tidak peduli.
  • Wahai Anak Adam! Andaikata dosa-dosamu mencapai awan di langit (sejauh mata memandang ke langit), kemudian kamu meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku akan mengampunimu.
  • Wahai Anak Adam! Sesungguhnya andaikata kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa-dosa (kecil) sepenuh isi bumi, kemudian kamu bertemu dengan-Ku (mati dengan memohon ampun dan tanpa berbuat syirik), tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangkan ampunan kepadamu sepenuh isinya pula."  (HR,at-Turmudziy, dia berkata: Hadits Hasan)
Urgensi Hadits
  • Ini merupakan hadits yang agung karena di dalamnya terbuka pintu 'PENGHARAPAN' bagi seorang Muslim, yaitu dengan cara beramal dan bersungguh-sungguh agar meraih ampunan dan rahmat Allah bagi hamba-Nya yang Dia sendiri menyebutkannya.

Petunjuk Hadits
  • Penjelasan akan kemaha-Muliaan dan Maha-Baik Allah Ta'ala yang berkenan untuk mengampuni dan merahmati para hamba-Nya bila mereka melakukan sebab-sebabnya yang sebenarnya amat mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah.  
  • Diantara tabi'at alami manusia adalah memiliki keterbatasan, kesalahan dan ketergelinciran akan tetapi wajib bagi seorang Muslim agar tidak ngotot di dalam melakukan keterbatasan dan kesalahan tersebut. Bahkan harus kembali kepada-Nya dan meminta ampunan-Nya.  
  • Di dalam hadits di atas disebutkan beberapa sebab-sebab mendapatkan ampunan dari Allah, diantaranya:
 
Berdoa dan berharap kepada Allah:
Mengenai hal ini, terdapat banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan urgensi dan keniscayaan berdoa kepada Allah Ta'ala, diantaranya firman-Nya (artinya), "Dan Rabb kamu berfirman, 'mintalah (berdoalah) kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu." (Q.s.,Ghafir/Mu`min:60)

A. Hal yang paling penting untuk diperhatikan di dalam berdoa adalah:
  1. Ikhlas semata karena Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
  2. Khusyu', tunduk, menampakkan kehinadinaan dan kebutuhan diri.
  3. Tidak memakan hal yang haram dan bermu'amalat dengannya.
  4. Tidak berputus asa dalam berdo'a (Ngotot) dan terus berharap dikabulkan ketika berdoa.
  5. Tidak terburu-buru minta dikabulkan. 
B. Istighfar dan melakukannya secara kontinyu. (Istiqamah)
  • Sebab, bila seorang hamba berbuat dosa dan meminta ampun, pasti Allah akan mengampuninya betapapun banyak dan besar dosanya. Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman (artinya),
  • "Dan minta ampunlah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.al-Baqarah [2]:199)
  •  "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS.an-Nisa`[4]:110)

Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam memohon ampun (beristighfar) adalah:
  1. Niat yang tulus.
  2. Menghadirkan istighfar tersebut ketika akan melakukannya.
  3. Merasakan keagungan Allah Ta'ala saat beristighfar.
  4. Melakukannya secara kontinyu dan memperbanyak frekuensinya.
  5. Merasakan akan dikabulkannya istighfar tersebut oleh Allah Ta'ala.
C. Bertauhid dan tidak berbuat syirik kepada Allah...
  • Ini merupakan faktor paling penting diampuninya dosa-dosa, sebab Allah tidak menciptakan makhluk dan mengutus para Rasul serta menurunkan kitab-kitab kecuali agar melakukan kewajiban bertauhid sebagaimana firman Allah (artinya),
  • "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu." (QS.an-Nahl:36)
  • "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS.adz-Dzariyat:56)
TAUHID: artinya menerapkan persaksian bahwa Tiada Tuhan -yang haq- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Siapa saja yang mati dalam kondisi bertauhid tersebut, maka dia berhak mendapatkan keselamatan dan masuk surga.

Mengenai hal ini, terdapat hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bahwa beliau bersabda (artinya),
  • "Barangsiapa yang akhir ucapannya di dunia (ketika mati) adalah 'Lâ ilâha Illallâh' maka wajahnya diharamkan atas api neraka (untuk disentuh)."  
Hadits di atas menunjukkan betapa besar ampunan Allah dan betapa luas rahmat-Nya. Oleh karena itu, yang diminta dari seorang hamba hanyalah melakukan sebab-sebab pengampunan tersebut sehingga Allah mengampuninya.  
Konsekuensi dari berbuat syirik, apapun jenisnya, adalah mendapatkan kemurkaan dan kemarahan dari Allah Ta'ala serta tidak mendapatkan ampunan-Nya.
Diantara hal yang termasuk kesyirikan dan kekufuran adalah:
  • Menyembah (beribadah) selain Allah seperti berhala, bebatuan, dan sebagainya. 
  • Mengalihkan apapun jenis 'ibadah kepada selain Allah, seperti berdoa (meminta), meminta ampun, memohon pertolongan kepada selain-Nya, menyembelih untuk selain-Nya, dan sebagainya.
  • Berhukum kepada syari'at Allah sekaligus kepada sistem-sistem selain syari'at Allah dengan meyakini bahwa ia sama saja atau bahkan lebih baik daripada syari'at Allah.
  • Melakukan perbutan sihir dan berinteraksi dengannya (melakukan ataupun meminta untuk dilakukan).
  • Tidak beriman kepada Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, bahwa beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul.

(SUMBER: Silsilah Manâhij Dawrât al-'Ulûm asy-Syar'iyyah -al-Hadîts- penyusun: Prof.Dr.Fâlih bin Muhammad ash-Shaghîr, 'Adil bin 'Abd asy-Syakûr az-Zurqiy, h.188-191)
https://id-id.facebook.com/notes/haris-andora/sebab-sebab-allah-mengampuni-dosa-hamba-nya/4638429063

Kamis, 24 Juli 2014

Hal-hal Yang Membatalkan Pahala Puasa


Bismillahirrohmanirrohiim.

Bulan suci Ramadhan adalah bulan penuh rahmat dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesempatan sangat berharga untuk meraih ampunan besar dari Allah Ta’ala dengan menjalankan ibadah puasa sebaik mungkin secara zahir dan bathin yakni dengan menjaga zahir kita dari melakukan perkara yang membatalkan puasa dan menjaga bathin kita dari perkara yang merusak pahala puasa sehingga puasa kita menjadi sempurna zahir dan bathin.

Berbicara tentang perkara yang membatalkan puasa, maka sudah maklum diketahui dalam kitab-kitab feqah yang ada dari kalangan empat mazhab seperti murtad, haid, nifas, bersetubuh, makan minum dan lainnya. Lalu bagaimana dengan dosa-dosa semisal berdusta, sumpah palsu, berkata kotor, mengghibah dan semisalnya, apakah membatalkan puasa atau pahala puasa sahaja ? Seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini :

خمس يفطرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة

“ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa ; dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat “.

Dan bagaimana kedudukan hadits tersebut ?

Jumhur fuqaha dari mazhab Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah mengatakan bahwa perkara ma’shiat semacam itu tidak membatalkan puasa, kecuali imam al-Awza’i beliau mengatakan bahwa ghibah dapat membatalkan puasa dan wajib diqadhai, beliau mendasarinya salah satunya dengan dalil hadits di atas dan juga hadits berikut :

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)

Pendapat al-Awza’i dijawab oleh para ulama sebagaimana disebutkan oleh imam an-Nawawi berikut :

وأجاب أصحابنا عن هذه الأحاديث سوى الأخير بأن المراد أن كمال الصوم وفضيلته المطلوبة إنما يكون بصيانته عن اللغو والكلام الرديء لا أن الصوم يبطل به . وأما الحديث الأخير ، خمس يفطرن الصائم ” فحديث باطل لا يحتج به ، وأجاب عنه الماوردي والمتولي وغيرهما بأن المراد بطلان الثواب لا نفس الصوم

“ Para sahabat kami (ulama Syafi’iyyah) menjawab tentang hadits-hadits tersebut selain hadits yang terakhir, bahwasanya yang dimaksud adalah sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut adalah dapat diperoleh dengan menjaga dari perbuatan sia-sia dan ucapan kotor, bukan puasa dapat batal dengannya. Adapun hadits terakhir yakni ; “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa “, maka hadits itu bathil tidak boleh dibuat hujjah. Maka dijawab oleh imam al-Mawardi , al-Mutawalli dan selain keduanya, bahwasanya yang dimaksud hadits itu adalah membatalkan pahala puasa bukan dzatnya puasa itu sendiri “.
[kitab Al-Majmu' syarah muhadzad 6/356]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’atnya dari hadits ‘Anbasah, dan ia mengatakan hadits itu palsu. Ibnu Ma’in mengatakan, “ Sa’id seorang yang pendusta, dan dari Sa’id sampai ke Anas, semua perawinya tertuduh. Ibnu Abi Hatim mengatakan dalam kitab ‘Ilalnya, “ Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits tersbut yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dari Muhammad al-Hajjaj dari Maisarah bin Abd Rabbih dari Jaban dari Anas…maka beliau menjawab, “ Ini adalah pendusta…”
[kitab Nashbu Ar-royah 2/483]

Sedangkan imam as-Subuki menilainya dhaif meskipun maknanya sahih :

قال السبكي: وحديث خمس يفطرن الصائم الغيبة والنميمة إلى آخره ضعيف وإن صح

“ Imam as-Subuki mengatakan, “ Dan hadits “ Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa, yakni ghibah, adu domba dan seterusnya adalah dhaif walaupun sahih (maknanya) “
[kitab Al-Iqna 1/220]

Dari keterangan imam Nawawi, dipahami bahwasanya ghibah dan ucapan kotor tidak membatalkan puasa, adapun hadits “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa…”, maka dijawab oleh para ulama bahwa hadits itu bathil dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan batalnya puasa. Akan tetapi, imam al-Mawardi dan imam al-mutawalli menjawab bahwa yang dimaksud hadits itu adalah perkara yang membatalkan pahala puasa bukan puasanya.

Artinya walaupun hadits itu dinilai bathil, namun masih bisa menerima takwil yakni bahwa yang dimaksudkan adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya itu sendiri. Dengan demikian jika ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya puasa, maka hujjahnya tertolak karena jumhur ulama sudah menetapkan berdasarkan hadits-hadits sahih bahwasanya perkara maksyiat semacam ghibah, dusta dan lainnya tidak membatlkan puasa. Namun apabila ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya pahala orang yang berpuasa, maka hal ini tidak bisa ditolak, karena imam al-Mawardi, imam al-Mutawawlli dan ulama lainnya membolehkannya dengan menerima makna takwilannya yaitu yang dimaksud adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya.


Hal yang mendasari hal ini adalah banyaknya hadits-hadits sahih tentang bahayanya lima perkara tersebut. Ghibah, adu domba, dusta, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat memanglah haram dan wajib dijauhi walaupun tidak dalam keadaan berpuasa dari sisimenjauhi perbuatan maksyiat, dan lebih ditekankan untuk dijauhi bagi orang yang berpuasa akan tetapi dari sisi merusak pahala puasa. Maka dengan demikian di saat puasa pun lebih wajib untuk meninggalkan semua perbuatan dosa termasuk lima perkara tersebut, karena bulan puasa pahala ibadah dilipat gandakan demikian juga dosa perbuatan maksyiat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapapan dusta, perbuatan dusta dan perbuatan bodoh, maka Allah tidak perduli dengan ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukari)

Imam ash-Shan’ani mengomentarinya :

الحديثُ دليلٌ على تحريم الكذب والعملِ به، وتحريمِ السفَهِ على الصائم، وهما محرَّمان على غير الصائم ـ أيضًا ـ، إلَّا أنَّ التحريم في حقِّه آكَدُ كتأكُّد تحريم الزنا مِنَ الشيخ والخُيَلَاءِ مِنَ الفقير

“ Hadits tersebut dalil atas keharaman berdusta dan berbuat dusta dan keharaman berbuat bodoh atas orang yang berpuasa, keduanya adalah haram bagi orang yang tidak berpuasa juga, akan tetapi keharamannya bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan seperti keharaman berzina bagi seorang syaikh (tua) dan sifat sombong bagi orang yang faqir “.
[kitab Subulus Salam 2/320]

Para ulama lainnya pun seperti imam Ibn Ash-Shabbagh mengomentari hadits lima perkara tersebut sebagai berikut :

وأما الخبر: فالمراد به: أنه يسقط ثوابه، حتى يصير في معنى المفطر، كقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «من قال لأخيه والإمام يخطب: أنصت.. فلا جمعة له» . ولم يرد: أن صلاته تبطل، وإنما أراد: أن ثوابه يسقط، حتى يصير في معنى من لم يصل

“ Adapu hadits tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah “, maka tidak ada jum’at baginya “, hadits ini tidak bermaksud sholatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala jum’atnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak sholat “.
[kitab Al-Bayan fi Madzhabi syafi'i 3/536]

Maka tidak salah jika ada seorang ustadz yang membawakan hadits tersebut dalam konteks sebagaimana disebutkan para ulama di atas yakni menjelaskan rusaknya pahala puasa bukan puasanya itu sendiri, karena ia bukan sedang membawakan hujjah untuk menyatakan batalnya puasa sebagaimana pendapat al-Awza’i. Karena makna seperti itu (merusak pahala puasa) telah disaksikan (syawahid) oleh banyak hadits sahih lainnya, di antaranya :

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)

Nabi juga bersabda :

رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش

“ Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus “ (HR. Al-Hakim; sahih ‘ala syartil Bukhari)

Juga hadits :

الصائم في عبادة من حين يصبح إلى أن يُمسي ما لم يغتب، فإذا اغتاب خرق صومه

“ Orang yang berpuasa di dalam beribadah sejak pagi hingga sore hari semenjak ia tidak berghibah, jika ia berghibah maka ia telah merusak (pahala) puasanya “.
[kitab Al-taisir syarah jami'is shoghir Imam munawi 2/201]
(Hadits ini diisyaratkan dhaif oleh imam as-Suyuthi)

Kesimpulannya : Puasa adalah menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan lainnnya, dan juga menahan diri dari semua perkara haram yang dapat merusak kesempurnaan puasa seperti ghibah, dusta, sumpah palsu, melihat yang diharamkan dan lainnya. Walaupun maksyiat semacam itu haram dilakukan di setiap waktu dan kapanpun, akan tetapi lebih diharamkan lagi bagi orang yang berpuasa sebagaima hadits-hadits di atas supaya tidak dapat merusak pahala puasanya.

Wallahu A'lam


Selain dalam kitab-kitab yang disebutkan diatas,bisa juga hal senada bisa juga dijumpai dalam kitab :

- Mirqotul Mafatih

2014 - وعنه قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " كم من صائم ليس له من صيامه إلا الظمأ ، وكم من قائم ليس له من قيامه إلا السهر " . رواه الدارمي وذكر حديث لقيط بن صبرة في باب سنن الوضوء .

الحاشية رقم: 1
2014 - ( وعنه ) أي : أبي هريرة ( قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " كم من صائم ليس له " ) أي : حاصل أو حظ " من صيامه " أي : من أجله " إلا الظمأ " بالرفع أي : العطش ونحوه من الجوع ، واختار الظمأ بالذكر لأن مشقته أعظم " وكم من قائم " أي : في الليل " ليس له من قيامه " أي : أثر " إلا السهر " أي : ونحوه من تعب الرجل وصفار الوجه وضعف البدن ، قال الطيبي : فإن الصائم إذا لم يكن محتسبا أو لم يكن مجتنبا عن الفواحش من الزور والبهتان والغيبة ونحوها من المناهي فلا حاصل له إلا الجوع والعطش ، وإن سقط القضاء ، وكذلك الصلاة في الدار المغصوبة وأداؤها بغير جماعة بلا عذر فإنها تسقط القضاء ولا يترتب عليها الثواب اهـ . قال ابن الملك : وكذا جميع العبادات إذ لم تكن خالصة اهـ . كالحج والزكاة فإنه لا يحصل له بهما إلا خسارة المال ، وتعب البدن في المال ، والظاهر أنه أريد به المبالغة وأن النفي محمول على نفي الكمال ، أو المراد به المرائي فإنه ليس له ثواب أصلا ( رواه الدارمي ) قال ميرك : ورواه ابن ماجه ، ولفظه " رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر " ورواه النسائي وابن خزيمة في صحيحه ، والحاكم ، وقال : صحيح على شرط البخاري ، ولفظه : رب صائم حظه من الصيام الجوع والعطش ( وذكر ) بصيغة المجهول ( حديث لقيط بن صبرة ) بفتح الصاد وكسر الموحدة ، قال الطيبي : هو أبو رزين لقيط بن عامر صبرة صحابي مشهور ، وتوهم بعضهم أنهما شخصان ( في باب سنن الوضوء ) والحديث قوله بالغ في الاستنشاق إلا أن يكون صائما ، ذكره الطيبي ، وهو اعتراض من صاحب المشكاة على صاحب المصابيح وهو في محله كما لا يخفى ; لأن إيراد الحديث في الباب الموضوع للحكم السابق منه أولى .

[ ص: 139

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php...

- Musnad Abdullah Bin Mubarok

رقم الحديث: 77
(حديث مرفوع) عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ , عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ , عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلا الْجُوعُ , وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلا السَّهَرُ " .

http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php...

- Ghiza`ul Albab Fii Syarhi Mandzumatil Adab

( فرع ) : الغيبة لا تفطر الصائم على الصحيح من المذهب فقها . قال الإمام أحمد : ويتعاهد صومه بصون لسانه من نحو غيبة كما في الإقناع وغيره .

وما ورد عن النبي صلى الله عليه وسلم من قوله { من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه } رواه البخاري وغيره . وعند ابن ماجه { من لم يدع قول الزور والجهل والعمل به } .

وقوله صلى الله عليه وسلم { ليس الصيام من الأكل والشرب إنما الصيام من اللغو والرفث } [ ص: 115 ] رواه ابن حبان وابن خزيمة في صحيحيهما .

وقوله صلى الله عليه وسلم { رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر } رواه ابن ماجه وابن خزيمة والحاكم وقال على شرطهما .

http://library.islamweb.net/Newlibrary/display_book.php...


Penyampaian Yusuf Qordhowi

س : ما حكم صائم رمضان إذا اغتاب أو كذب أو نظر إلى أجنبية بشهوة . أيصح صيامه أم يبطل ؟.

ج: الصوم النافع المقبول هو الذي يهذب النفس ، ويقوي إرادة الخير ، ويثمر التقوى المذكورة في قوله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون )البقرة : 183 . والواجب على الصائم أن يكف عن كل قول أو فعل يتنافى وصومه حتى لا يكون حظه من صيامه الجوع والعطش والحرمان . وفي الحديث : ( الصيام جنة فإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يجهل ، وإذا سابه أو قاتله أحد فليقل : إني صائم ) رواه الشيخان . وقال عليه السلام : ( رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر ) (رواه النسائي وابن ماجة والحاكم ، وقال : صحيح على شرط البخاري) . وقال صلوات الله عليه ( من لم يدع قول الزور والعمل به ، فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه ) .( رواه البخاري وأحمد وأصحاب السنن ).. قال ابن العربي : مقتضى هذا الحديث ألا يثاب على صيامه ، ومعناه أن ثواب الصيام لا يقوم في الموازنة بإثم الزور وما ذكر معه .
ورأى ابن حزم: أن هذه الأشياء تبطل الصوم كما يبطله الطعام والشراب ، وروى عن بعض الصحابة والتابعين ما يفهم منه هذا .
ونحن - وإن لم نقبل برأي ابن حزم - نرى أن هذه المعاصي تضيع ثمرة الصيام وتفسد المقصود من شرعيته ، ومن أجل ذلك كان سلف الأمة الصالحون يهتمون بالصوم عن اللغو والحرام كما يهتمون بالصوم عن الشراب والطعام .. قال عمر رضي الله عنه : ( ليس الصيام من الشراب والطعام وحده، ولكنه من الكذب والباطل واللغو ) . وروى عن علي مثله .. وعن جابر قال: ( إذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والمآثم ، ودع أذى الخادم ، وليكن عليك وقار وسكينة يوم صيامك ، ولا تجعل يوم فطرك ويوم صيامك سواء ) . وقال أبو ذر لطليق بن قيس : ( إذا صمت فتحفظ ما استطعت ) ، فكان طليق إذا كان يوم صيامه دخل فلم يخرج إلا إلى صلاة . وكان أبو هريرة وأصحابه إذا صاموا جلسوا في المسجد وقالوا : نطهر صيامنا .. وعن ميمون بن مهران : ( أهون الصيام الصيام عن الطعام والشراب ) .. وأياً ما كان الأمر فللصوم أثره وثوابه ، وللغيبة والكذب ونحوه عقابها وجزاؤها عند الله ( وكل شيء عنده بمقدار )الرعد : 8 . وكل عمل بحساب وميزان( لا يضل ربي ولا ينسى )طه : 52. وتأمل هذا الحديث النبوي عن دقة الحساب الإلهي في الآخرة تجد فيه الجواب الكافي عن هذا السؤال والسؤالين قبله : روى الإمام أحمد والترمذي عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم جلس بين يديه فقال : يا رسول الله إن لي مملوكين يكذبونني ويعصونني ، وأضربهم وأشتمهم ، فكيف أنا منهم؟ . ( يعني يوم القيامة ) فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : (يحسب ما خانوك وعصوك وكذبوك ، وعقابك إياهم ، فإن كان عقابك إياهم دون ذنوبهم كان فضلا لك ، وإن كان عقابك إياهم بقدر ذنوبهم كان كفافا لا لك ولا عليك ، وإن كان عقابك فوق ذنوبهم اقتص لهم منك الفضل الذي بقى قبلك) فجعل الرجل يبكي بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ويهتف . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ماله لا يقرأ كتاب الله ؟ ( ونضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئاً ، وإن كان مثقال حبة من خردل أتينا بها وكفى بنا حاسبين ) الأنبياء : 47 . فقال الرجل يا رسول الله : ما أجد شيئاً خيراً من فراق هؤلاء - يعني عبيده - إني أشهدك أنهم أحرار كلهم .

http://www.qaradawi.net/.../267-2014-01-26-18-46-21/2410-

http://www.piss-ktb.com/2014/07/3365-fiqih-puasa-hal-hal-yang-dapat.html

Rabu, 12 Maret 2014

SETENGAH JAM DIKUBUR, JENAZAH BERUBAH MENJADI GOSONG (HANGUS)


Bismillahirrohmanirrohiim

Pagi itu suasana cerah, sebuah truk yang sarat dengan barang pindahan masuk pekarangan sebuah rumah yang baru selesai di bangun. Melihat ada warga pindahan yang akan menjadi penduduk baru.

Masyarakat bergegas membantunya, mereka sibuk mengangkut barang barang masuk ke dalam rumah. Setelah selesai. Pemilik rumah langsung berkenaln dan akrab dengan masyarakat.

"Nama saya Karta,saya pindahan dari kampung sawah, ini istri saya,Nita" ujar Karta.au seorang ibu keluar dari rumah tersebut dengan menggengam sapu di tangan.

"Kalau ibu yang tua itu siapa?" Tanya salah satu tetangga yang baru saja di salami Karta.

"Ohh.....itu ibu saya, nama beliau Fatimah, suaminya sudah meninggal dunia, saya anak pertama,sehingga saya bertanggung jawab atas keluarga, terutama ibu, jadi saya ajak ibu untuk tinggal bersama kami".cerita karta.

Keluarga Karta tampak harmonis, masyarakatpun akrab dengan keluarga karta. Banyak tetangga yang memuji keluarga itu, karena jarang terdengar percekcokan.

Akan tetapi,siapa sangka, apa yang tampak di mata warga sekitar situ teryata berbeda dengan kenyataan. Memang pada awalnya di keluarga itu tidak ada terjadi perseteruan. Namun di kemudian harinya ada saja masalah, hal hal yang remehpun bisa menjadi sumber masalah, terutama antara Ibu Fatimah dan istri Karta selalu saja terjadi perselisihan. Ibu Fatimah sering menerima cacian, hinaan fitnahan dari istri Karta. Akan tetapi ibu Fatimah selalu sabar menerimanya, dia tidak pernah membalas perlakuan sang menantu.

Harapan yang di idam idamkan untuk menghabiskan masa tuanya dengan anak, menantu dan cucu dalam keseharian yang di warnai bunga bunga kebahagiaan teryata pupus sudah. Tetapi demi kasihnya untuk anak tercinta, dia rela menerima berbagai perlakuan yang tidak sewajarnya dari sang menantu.

"Eh tua bangka,jangan enak enakan di sini ya .... memangnya ngak ada yang di kerjain, kerjanya cuma ngobrol saja!" bentak menantunya.

Padahal sang ibu sudah bekerja seharian penuh, namun ada saja yang salah pada dirinya. Cacian, hinaan, fitnahan selalu saja di tuduhkan ke dirinya. Bahkan darah dagingnya sendiri yang ia lahirkan, dirawat sejak kecil ikut membencinya.

"Mas, saya tidak suka dengan ibu, masa seharian kerjanya cuma duduk duduk saja, saya kan capek sudah harus merawat anak kita si Dini, merapikan rumah,eh .... ada yang lain bukannya ikut membantu " kata Nita kepada suaminya.

"Sudahlah kamu tenang saja,nanti saya yang bicara kepada ibu, lama lama hilang juga kesabaran saya kepadanya," ucap Karta.

Hasutan demi hasutan terus di tuduhkan kepada ibunya. Tak tahan mendengar pengaduan istrinya. Karta yang tadinya tidak ambil pusing akhirnya menegur ibunya. Hingga suatu malam terjadi pertengkaran yang hebat.

"Mas,saya sudah tak sanggup tinggal di rumah ini, seperti di neraka saja, saya atau dia yang keluar dari rumah ini. Kalau Mas tidak mengeluarin tua bangka itu dari rumah malam ini juga, saya yang akan keluar! " tantang Nita.

Karena termakan dengan fitnah istrinya, akhirnya Karta tega mengusir ibunya sendiri.

"Bu, saya sudah tidak sanggup dengan sikap ibu, ada saja pertengkaran yang muncul. Daripada rumah tangga saya hancur karena keberadaan ibu di rumah ini, lebih baik ibu keluar dari rumah ini malam ini juga, Ibu bisa tinggal dirumah Tini atau Tuti." usir Karta.

"Saya Tidak mau tahu, bagaimanapun caranya ibu harus meninggalkan rumah malam ini juga," bentak Karta tanpa risih lagi.

"Nak ibu akan keluar dari sini, akan tetapi malam sudah larut, bagaimana mungkin ibu pergi. Ijinkan ibu untuk tinggal malam ini saja, esok pagi ibu akan meninggalkan rumah ini", pinta ibu Fatimah.

Lagi lagi istri Karta menyela,"Mas,saya atau dia yang keluar meninggalkan rumah ini!"

Karena Karta takut kehilangan istrinya yang di cintainya, dia lebih rela ibunya yang harus keluar dari rumahnya. Padahal di rumah itu ibunya pun memiliki saham buat mengadakan rumah tersebut.

"Keluar!, saya tidak mau tahu ! ", bentak Karta dengan bengis. Bahkan dengan sombongnya Karta pun mendorong ibunya keluar rumah.

Nita ,istri Karta sendiri dengan angkuhnya, seakan akan menunjukkan dirinya bahwa dialah pemenangnya.

Hanya berbekal beberapa potong pakaian,tanpa di beri uang satu rupiah pun, ibu Fatimah Meninggalkan rumah itu.

"SAYA TIDAK AKAN RIDHO DUNIA AKHERAT AKAN PERLAKUANNYA KEPADAKU, KUHARAMKAN AIR SUSU YANG TELAH DIMINUMNYA, SEMOGA DIA DI BAKAR DI DUNIA DAN DI AKHERAT", kutuk ibu Fatimah, dengan air mata yang terus mengalir di pipinya yang sudah mulai mengeriput.

Wanita tua itu terus menyelusuri jalan raya seorang diri. Karena tidak membawa uang sepeserpun. Bu Fatimah terpaksa berjalan kaki menuju rumah anaknya yang lain.

Sejak kepergian ibunya, kehidupan rumah tangga karta bukannya bertambah harmonis. Bahkan belakangan Karta jatuh sakit. Sembilan bulan lamanya Karta Melawan sakit. Berawal hanya gatal gatal biasa, kemudian lama kelamaan tampak memerah di sekitar perutnya.

Beberapa dokter dan paranormal telah ia datangi, namun pengobatannya yang ia jalani sia sia saja, tak ada hasilnya, bahkan harta yang ia miliki mulai habis untuk mengobati penyakit itu.

Badan mulai mengurus, jalan pun sudah mulai tak sanggup, akhirnya ia berbaring lemah sepnjang waktu di ranjangnya, dari perutnya keluar cairan yang sangat bau.

Teman teman dan para tetangganya pun mulai menjauh takut tertular dengan penyakit karta. Badanya tak bisa di gerak gerakkan kekanan atau kekiri karena akan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat bila bergerak. Belakang tubuhnya mulai lecet lecet di sebabkan lama berbaring kaku di ranjang.

Karta menyadari bahwa sakit yang dideritanya itu di sebabkan oleh sikapnya yang telah mendurhakai ibunya sendiri. Makanya ia pun meminta agar sang ibu datang kerumahnya agar ia bisa minta maaf kepada sang ibu.

"Tolong panggilkan ibu saya,saya ingin bertemu denganya, saya telah berdosa kepadanya," ratap Karta.

Maka diutuslah seorang tetangganya untuk meminta ibunya datang. Namun sang ibu tidak bergeming. Hatinya terlalu sakit menerima perlakuan anaknya yang kurang ajar dan tidak tahu balas budi itu.

"Luka hatiku jauh lebih sakit dari apa yang ia derita," ujar ibu Fatimah menolak orang yang merayunya untuk datang menemui anaknya. Orang itupun dengan langkah gontai pergi meninggalkan rumah Tini.

Sementara itu Karta di ranjangnya, Karta terus merasakan sakit yang amat sangat. Tubuh Karta meronta ronta kesakitan, matanya melotot, seakan ada mahkluk yang sangat menyeramkan di hadapanya.

"Mas, mas ... kenapa mas?... istigfar mas,mas ..... astaughfirullohhal adziim..," ujar Nita sambil memegang tubuh Karta yang kian lama hentakanya semakin keras.

Nita sadar, suaminya sedang menghadapi sakarotul maut, ia pun menuntun suaminya dengan membaca kalimat Tahlil.

"Laa ilaaha illallah,...."berkali kali, dengan deraian airmata Nita terus menuntun suaminya agar mengikuti ucapannya..

Sampai datang waktu subuh, Karta masih saja merasakan sakarotul maut. Nita pergi meninggalkan suaminya untuk menunaikan sholat subuh. Dengan air mata berlinang ia sujud memohon kepada Allah SWT, agar suaminya cepat di ambil nyawanya daripada harus tersiksa seperti itu.

Pada pukul setengah enam, dengan mata yang sembab, Nita kembali masuk ke kamar suaminya. Dipegangnya tubuh Karta, dingin sudah merayapi sekujur tubuhnya. Nafasnya tercekat di Leher, terdengar orokan panjang dari mulutnya.

Tepat jam enam pagi, Karta menghembuskan Nafas Terakhirnya, dengan mata melotot, seolah olah melihat ke atas dan jari tangan yang membengkok kaku serta mulut yang menggangga lebar.

Orang orang sibuk menyiapkan prosesi kematian Karta. Masyarakat sekitar datang berduyun duyun untuk bertakziah ....

Baru melangkahkan kaki di pintu masuk, tercium bau yang tak sedap, padahal ruangan sudah di semprot wewangian, di setiap pojokan di letakkan kamper demi mengurangi bau tak sedap itu. Akan tetapi bau itu tetap saja ada. Pelayat yang datang serta merta menutup hidung agar tak tercium bau tak sedap itu.

Orang orang yang memandikan jenazah pun terpaksa harus menggunakan masker agar tidak tercium bau tak sedap. Anehnya air kotor dan bau yang keluar dari perut Karta tidak mau mengering. padahal perut itu sudah di tempelin berlapis lapis kapas.

Akhirnya orang orang yang mengurus jenazah langsung mengafani.

setelah selesai di sholatkan, jenazahpun di bawa ke tanah pemakaman dengan menggunakan mobil ambulance. Sesampai di pemakaman, liang lahat pun telah di persiapkan. Setelah prosesi pemakaman selesai, tak beberapa lama, rombongan siap kembali ke mobil. Tiba tiba datanglah beberapa laki laki yang tergesa gesa.

"Saya tak mengijinkan mayat ini di kubur di tanah ini, karena kami membayar tanah di sekitar ini. Tanah ini sudah menjadi kavling pemakaman keluarga kami. Saya mohon angkat jenazah itu sekarang juga", ujar orang itu.

"Tolonglah pak, mayat ini sudah di kubur, tidak mungkin kami gali lagi," jawab pak ustadz Abdulah.

"Kami tidak mau tahu!. Tanah ini sudah menjadi milik keluarga kami. kami minta di gali sekarang juga!" ucap orang itu lagi dengan agak marah.

Karena orang yang mengaku memiliki tanah kavling itu ngak mau mengalah, akhirnya pihak keluarga karta terpaksa mengalah juga. Maka makam yang baru sekitar setengah jam di timbun itu pun di gali kembali untuk di pindahkan ketempat yang lain.

Ketika papan penutup liang lahat di bongkar, maka jenazah karta pun tampak dari luar. Semua orang tercengang melihat jenazah itu. Betapa tidak, kain kafan putih yang membalutnya berubah menjadi abu abu, seandainya kalau perubahan warna itu disebabkan oleh tanah makam yang berlumpur tentu warnanya coklat kemerahan ,bukan abu abu.

Hal ini tentu membuat tanda tanya besar di hati para pengantar jenazah. Ketika mayat itu hendak di angkat, orang orang yang mengangkatnya keheranan. Karena ukuran jenazah itu menjadi lebih pendek dari semula. Akibatnya bagian ujung kain kafan itu jadi tampak lebih panjang dari yang seharusnya.

"Pak ustadz,kain kafannya di buka dulu saja, sepertinya kok ada yang tidak beres?" kata beberapa orang.

Maka kain kafan itu pun dibuka.

Begitu kain kafan di terbuka, maka terkejutlah semua orang yang hadir. Betapa tidak, mayat Karta yang baru dikubur sekitar setengah jam, telah berubah menjadi hitam dan gosong seperti hangus terbakar.

Kakinya tertekuk ke dada. Begitu juga tangannya juga tertekuk. Mayat itu bentuknya tidak lagi lurus melainkan berubah seperti monyet. Pantas saja kalau mayatnya seperti lebih pendek.

Melihat kondisi jenazah yang mengerikan seperti itu, maka mereka segera membungkus kembali dengan kain kafan yang tadi, sementara beberapa orang mulai menggali lubang kubur baru yang letaknya di pinggir areal pemakaman dekat pagar batas.

Setelah penguburan selesai, satu persatu orang orang mulai meniggalkan makam itu. Kini Karta seorang diri di lubang kuburnya.Istri yang sangat di cintainya, yang di bela habis habisan pun tidak dapat menemaninya. (Sumber : di sadur Dari Majalah Hidayah)

Semoga ALLAH mewafatkan kita dalam keadaan khusnul khatimah. Aamiin.

Jumat, 07 Maret 2014

Cinta Itu Satu Perkenalan



Kalam Al Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al Jufri

Assalamu`alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat salam semoga selalu terlimpahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, keluarga dan Shahabatnya.
Ibnu Abbas RA menjelaskan tentang firman Allah SWT:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menjadikan Jin dan Manusia melainkan untuk menyembah-Ku”.(Q.S. Adh Dhariyat: 56) Yaitu mengenali Alah SWT.

Ibrahim bin Adham RA telah berkata: “Kasih sayang itu merupakan hasil dari sebuah perkenalan, barang siapa yang mengenal Allah SWT maka dia akan mencintai-Nya dan barang siapa mencintai Allah SWT maka dia akan mencintai Baginda Rasulullah SAW, barang siapa yang kenal Baginda Rasulullah SAW, pasti dia akan mencintainya”.
Kita pernah mendengar sebuah ungkapan menarik yang mengatakan bahwa; Tidak wajar hubungan kita dengan Baginda Rasulullah SAW jika hanya sekedar melakukan suatu amalan dan hanya cukup seperti itu, sepatutnya hubungan tersebut akan membuahkan cinta kepada Habibana Muhammad SAW dan cinta itu terus hidup mekar didalam hati kita dan beliau SAW pasti akan hidup didalam hati kita.

Baginda Rasulullah SAW adalah seorang Nabi yang datang kepada kita sebagai seorang manusia, namun Nabi SAW bukanlah seperti insan biasa. Baginda Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara memandang kepada sebuah kehidupan dengan pandangan yang mempunyai makna, bukan pandangan yang sebaliknya. Perbedaan diantara kedua pandangan yang tidak mempunyai makna ialah, seseorang yang melihat dirinya dan semata-mata tertumpu untuk memenuhi kepuasan nafsu dirinya. Pandangan yang mempunyai makna ialah, melihat kepada kehidupan mengikuti pandangan yang telah dibawa Baginda Rasulullah SAW, dimana ia bertujuan untuk mengembalikan kekhalifahan diatas muka bumi ini kepada manusia yang termaktub didalam Al Quran: “sesungguhnya Aku telah jadikan diatas muka bumi ini khalifah”. Pandangan tersebut itu merangkumi kepada hewan, benda-benda tidak bernyawa dan tumbuh-tumbuhan, karena pandangan itu bukan hanya melibatkan pandangan kepada manusia saja tetapi merangkumi semua.
Baginda Rasulullah SAW memandang kepada gunung yang terdiri dari batu dan tanah, dengan suatu pandangan yang membangkitkan perasaan cinta. Sabda beliau SAW: “Uhud adalah bukit yang mencintai kita dan kita juga mencintainya”.

Pandangan yang ditunjukkan Baginda SAW kepada yang tidak bernyawa itu menyebabkan ia begerak dan cenderung kepada Baginda Rasulullah SAW. Dalam suatu peristiwa, bukit Uhud bergetar ketika Baginda Rasulullah SAW mendaki bukit tersebut, kemudian Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Tetaplah kamu wahai Uhud, sesungguhnya yang diatas kamu ini ialah seorang Nabi”. Maka bukit Uhudpun berhenti bergetar dan disaksikan oleh shahaabat Abu Bakar As Shidiq dan dua orang lainnya. Pandangan yang ditunjukkan Baginda Nabi Muhammad SAW kepada benda-benda yang tidak bernyawa itu, menyebabkan ia datang kepada Baginda Nabi SAW dan menerimanya.

Sepertu sebuah kisah pelepah kurma yang tidak bernyawa, dimana Baginda Nabi SAW sering memegang pelepah kurma tesebut ketika sedang khutbah Jumat di Masjidnya, hari demi hari bilangan manusia semakin bertambah maka Baginda Nabi SAW menggunakan Mimbar. Suatu ketika Baginda Nabi SAW pun datang ke Masjid untuk khutbah, ketika itu Baginda Nabi SAW telah melepasi pelepah kurma yang dibawanya tersebut, dimana jarak Baginda Nabi SAW dengan pelepah kurma tersebut kurang lebih sekitar 8 langkah. Baginda Nabi SAW melangkah menaiki mimbar dan memulai khutbahnya, semasa khutbah Baginda Nabi SAW, para shahabat mendengar suara tangisan yang teramat sedih dan menyayat hati. Semakin lama suara tangisan itu semakin nyaring terdengar, para shahabat mulai berpaling kekiri dan kekanan mencari-cari dari mana arah datang suara tangisan tersebut, akhirnya mereka dapati suara tangisan itu datang dari pelepah kurma. Apabila benda yang tidak bernyawa ini telah dapati Baginda Nabi SAW berkomunikasi dengannya dan mengandung makna kehidupan yang dibawa Baginda Nabi SAW, maka beliau SAW telah menggerakkan makna kehidupan pada pelepah kurma itu.

Oleh karena itu ia amat menyukai untuk menggambarkan rasa cintanya kepada Baginda Rasulullah SAW. (Hadits ini bertahap mutawatir mengikuti ke Shahihannya)
Para Shahabat berkata: Apabila pelepah kurma itu mulai merengek seperti kehilangan anak, ia menyebabkan kami hampir tidak bisa mendengar suara Baginda Nabi SAW. Kemudian Baginda Nabi SAW turun dari mimbar dan sekali lagi Baginda Nabi SAW telah mengajar kami suatu pengajaran bahwa; Baginda Nabi SAW datang dengan mempunyai pengetahuan tentang rahasia sebuah kehidupan untuk membujuk pelepah kurma itu, kemudian beliau SAW meletakkan tangannya diatas pelepah kurma itu lalu membujuknya seperti seorang ibu yang membujuk anaknya sedang menangis sehingga pelepah kurma itupun terus diam. Lalu Baginda Nabi SAW memberi pilihan kepadanya, kekal hidup sehingga hari kiamat dan kembali kepada Nabi SAW seperti sedia kala atau berada bersama Baginda Nabi SAW didalam Surga. Pelepah kurma itupun memilih untuk bersama Baginda Nabi SAW di Surga.

Baginda Nabi SAW apabila datang kepada hewan, telah mengajar kita bagaimana cara untuk bermuamalah dengan hewan dengan mempunyai nilai ubudiyah kepada Allah SWT. Ketika Baginda Nabi SAW berangkat kemedan jihad di Perang Badar, berulangkali Baginda Nabi SAW turun dari hewan tunggangannya tersebut supaya dapat beristirahat, demikianlah Baginda Nabi SAW terus menerus lakukan pada tunggangannya.

Baginda Nabi SAW telah mengajar kita cara bermuamalah kepada yang telah berkhidmat untuk kita walau ia hanya seekor hewan. Muamalah ini mestilah mempunyai nilai rasa menghargai, bahwa yang dihadapanku ini mempunyai hak sewajarnya untuk dipelihara.
Hasil dari sebuah kecintaan ini juga dapat dilihat, apabila seekor hewan berada dipuncak kemarahan sekalipun, ia mau merasai hubungan dengan orang yang dapat berkomunikasi dengannya dimana orang itu memahami rahasia sebuah kehidupan. Terdapat sebuah kisah tentang seekor unta dan orang Arab tahu apabila unta tersebut membahayakan bahkan bisa membunuh orang, mereka pasti akan mengikatnya. Baginda Nabi SAW melalui kawasan tersebut dan bertanya: “Apa yang berlaku kepada kamu?”, mereka menjawab; “Unta ini bahaya”, Baginda Nabi SAW bersabda; “Bukalah ikatan unta itu”, mereka menjawab, “kami takut ada hal-hal yang tidak baik menimpamu, disebabkan unta ini ya Rasulullah?”, Baginda Nabi SAW bersabda; “Bukakanlah ikatan itu”. Merekapun membuka ikatan tersebut.

Kemudian Baginda Nabi SAW mendekati unta itu, lantas iapun diam sebagaimana diriwayatkan oleh hadits shahih, unta itu datang kepada Baginda Nabi SAW dalam keadaan tunduk. Seorang perawi telah meriwayatkan: “Unta itu mendekati kaki Baginda Nabi SAW dan menciuminya, kemudian ia mengangkat kepalanya, Nabi SAW mendekati dan berbicara dengannya. Lantas unta itu angkat kepalanya dan mendekati Nabi SAW sekali lagi, ia membisikkan sesuatu ketelinga Nabi SAW, seterusnya Baginda Nabi SAW kembali berkata-kata kepadanya dan ia pun melakukan perkara yang sama.

Setelah itu Baginda Nabi SAW memandang ke arah orang yang mempunyai Unta tersebut dan berkata; “Sesungguhnya unta ini telah mengad kepadaku bahwa ia telah diberikan kerja-kerja yang membebankannya dan kamu juga tidak memberi makan yang baik kepada unta itt”. Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, demi karenamu ia akan diberi sebaik-baik makanan untuk unta dan kami tidak akan membebankan selama-lamanya”.

Unta ini berbicara begitu karena Baginda Nabi SAW datang kepadanya dengan membawa makna kehidupan hewannya. “Tidak diutuskanmu melainkan membawa rahmat seluruh alam”. Begitulah akhlak Baginda Nabi SAW bersama unta dan benda-benda yang tidak bernyawa.
Maka bagaimana muamalah Baginda Nabi SAW dengan manusia? Dimana beliau SAW ditugaskan mengangkat martabat manusia serta mengembalikan sifat manusia kepada sifat kemanusiaannya. Pada hari ini kita dapat belajar satu pengajaran; kita hidup sebagai umat Baginda Rasulullah SAW mengetahui bahwa berbicara dengan alam yang mengelilingi kita, dengan konsep kenabian yang mulia akan menimbulkan keadaan yang lain pada alam ini serta menjadikan alam ini merasai rahasia sebuah kehidupan yang dianugerahkan Baginda Rasulullah SAW untuk memahaminya, ini merupakan penganugerahan cinta, diadakan untuk menggerakkan hati kita sebelum orang lain. Untuk menyadarkan kita sebagai kelompok muslim tentang wujudnya hubungan dengan Baginda Rasulullah SAW. Ia membuat kita berlomba-lomba dalam perlombaan, disana kita mampu untuk berbicara dengan alam ini dari mula bahwa Baginda Rasulullah SAW diutus untuk mengembalikan rasa hormat manusia kepada dirinya sendiri sebagai manusia dan hormat kepada alam disekelililngnya sehingga alam ini juga kembali hormat kepada manusia itu. Jika kita kembali pada konsep komunikasi dengan yang berada disekeliling kita dan sebaliknya dengan berpandukan ajaran Baginda Rasulullah SAW, banyak perkara akan berubah kepada suatu keadaan yang lebih baik karena kita adalah umat Baginda Rasulullah SAW.

Aku mohon kepada Allah SWT, agar hidupkan kita dengan makna ini, ya Allah..hidupkanlah makna hubungan dengan Baginda Rasulullah SAW didalam jiwa kami, gerakkanlah dalam diri kami dengan semangat ini, satukanlah kami dengan orang yang Engkau cintai dan ridha dengan rahmat-Mu wahai Tuhan yang Maha pengasih dan penyayang dan segala puji bagi Allah SWT Tuhan sekalian alam.

Wallahu A`lam…
http://ahlulkisa.com

Jumat, 28 Februari 2014

Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf


Bismillahirrohmanirrohiim

Al-Allamah Al-Arifbillah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf lahir di Seiyun, Hadramaut pada tahun 1331 H / 1911 M. Sekarang beliau tinggal di Jeddah, Arab Saudi dan saat ini menjadi rujukan pentung bagi kaum Ahlussunnah Waljamaah.
Ayahandanya, Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, seorang ulama terkemuka di Hadramaut, yang kemudian menggantikan kedudukan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, setelah penyusun Simtud Duror itu wafat. Sedangkan ibundanya, Syarifah Alwiyah binti Ahmad Aljufri, wanita salihah yang dermawan.
Di masa kecil beliau mengaji kepada Syekh Thaha bin Abdullah Bahmid. Setelah itu, beliau belajar fiqih, tafsir dan sastra di Madrasah An-Nahdlatul Ilmiyah. Di perguruan ini pula beliau menghafal Al-Qur'an dan mempelajari Qiraah sab'ah ( tujuh jenis bacaan ) Al-Qur'an dari Syekh Hasan bin Abdullah Baraja, beliau juga membaca beberapa kitab langsung di bawah supervisi ayahandanya.
Tapi beliau juga berguru kepada sejumlah ulama besar lainnya, Antara lain :
• Habib Umar bin Hamid Assegaf
• Habib Abdullah bin Alwi Al-Habsyi
• Habib Umar bin Abdul Qadir Assegaf
• Habib Abdullah bin Idrus Alaydrus
• Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus
• Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab

Pada tahun 1393 H / 1973 M beliau memutuskan memperluas medan dakwahnya ke luar negeri. Maka beliau pun berdakwah sampai ke Singapura. Dua ulama Singapura yang menyambutnya kala itu ialah Habib Muhammad bin Salim Al-Aththas dan Habib Ali Ridha Assegaf. Tak lama kemudian beliau juga sempat menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Atas permintaan beberapa ulama di Tanah suci, beliau bermukim selama beberapa waktu di Mekah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis taklim. Beliau juga sempat berdakwah ke Zanzibar, Lebanon , Syria dan Mesir. Tapi belakangan beliau menetap di Jeddah.
Setiap kali beliau menyampaikan tausiah, selalu ada hal yang menarik. Misalnya ketika memberikan tausiah dalam sebuah rauhah, pengajian, di Jeddah pada 1411 H / 1990 M, " Yang banyak menimpa manusia pada zaman akhir ini ialah Futurul Himah ( kevakuman hasrat ) dalam mencapai kemuliaan di sisi Allah swt." Ujarnya.
Menurutnya, sesungguhnya himmah, kesungguhan hasrat, merupakan penuntun lahirnya taufik Ilahi, pertolongan Allah swt bagi hamba-Nya agar mampu melaksanakan ketaatan, sebagai pos bisyarah, kabar gembira. Jika seseorang memiliki keinginan, lalu bersungguh-sungguh mencapainya, segala kesulitan akan menjadi mudah. Allah swt pun akan menolong dengan maunah, pertolongan dan taufik-Nya.
Menurut Habib Abdul Qadir yang kini semakin melemah adalah kekuatan keimanan kita. " Kebanyakan orang sekarang merasa berat bangun malam, lebih suka bermalas-malasan, ini semua jelas akibat bujuk rayu setan." Katanya.
Kini, tokoh Ahlus sunnah Wal Jamaah yang langka ini menjadi semacam azimat bagi kalangan Habaib dan Muhibin di Tanah air maupun di negeri-negeri islam lainnya.

Wallahu a`lam

Selasa, 18 Februari 2014

FENOMENA UASTADZ


Bismillahirrohmanirrohiim

Di Indonesia, kata "Ustadz" sangat populer di kalangan kaum Muslim. Tapi taukah anda bahwa kata "ustadz" bukan berasal dari bahasa Arab ?. Taukah anda bahwa kata "ustadz" juga sudah ada dan digunakan lama sebelum Islam turun di tanah Arab ?

Kata "ustadz" sebenarnnya bukan berasal dari bahasa Arab. Ia adalah kata 'ajami (non-Arab) persisnya bahasa Parsi / Farisi / Persia (sekarang wilayah negara Iran) yang kemudian dijadikan serapan ke dalam bahasa Arab (muarrob). Asal kata dari ustadz (ﺃﺳﺘﺎﺫ) adalah ustad.

Dalam kamus Al-Mu'jamul Wasith (ﺍﻟﻤﻌﺠﻢ ﺍﻟﻮﺳﻴﻂ) kata ustadz memiliki beberapa makna :

ﺍﻷﺳﺘﺎﺫ - ﺃﺳﺘﺎﺫ:
ﺍﻷﺳﺘﺎﺫ : ﺍﻟﻤﻌﻠﻢ .
ﺍﻷﺳﺘﺎﺫ ﺍﻟﻤﺎﻫﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻨﺎﻋﺔ ﻳﻌﻠﻤﻬﺎ ﻏﻴﺮﻩ .
ﺍﻷﺳﺘﺎﺫ ﻟﻘﺐ ﻋﻠﻤﻲ ﻋﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺎﻣﻌﺔ . ﻭﺍﻟﺠﻤﻊ : ﺃﺳﺎﺗﺬﺓ ، ﻭﺃﺳﺎﺗﻴﺬ
1. Guru / Pengajar
2. Orang yang ahli dalam suatu bidang industri dan mengajarkan pada yang lain.
3. Gelar akademis level tinggi di universitas.
Kata jamaknya adalah asatidzah dan asatiidz.

Pengertian lain dari kata ustadz adalah orang yang sangat ahli dalam suatu bidang. Menurut pengertian ini, maka seseorang tidak pantas disebut Ustadz kecuali apabila dia memiliki keahlian dari 18 atau 12 ilmu atau bidang studi. Dalam sastra Arab seperti ilmu nahwu, shorof, bayan, badi', ma'ani, adab, mantiq, kalam, perilaku, ushul fiqih, tafsir. hadits.

Konon, orang Islam pertama yang mendapat gelar ustadz adalah Kafur Al Ikhsyidi Al Isfirayini. Di negara Arab sendiri , istilah ustadz merujuk pada dosen / ahli / akademisi / imuwan yang memiliki keahlian di bidang tertentu. Seperti pakar tafsir dikatakan ﺍﻷﺳﺘﺎﺫ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮal-Ustadz fit Tafsir
Sedang di Indonesia, kata ustadz merujuk pada banyak istilah yang terkait dengan orang yang memiliki kemampuan ilmu agama Islam dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim. Baik kemampuan riil yang dimilikinya, sedikit atau banyak. Orang yang disebut ustadz antara lain: da'i, mubaligh, penceramah, guru ngaji, guru madrasah, guru ngaji kitab di pesantren, pengasuh / pimpinan pondok pesantren (biasanya pesantren modern).

Kata "ustad" (tanpa huruf 'z') juga cukup populer di India, Pakistan dan Bangladesh (dulu bernama Hindustan), namun dengan konotasi makna yang berbeda. Di ketiga negara tersebut, ustad lebih dikenal sebagai master / maestro, yaitu orang yang memiliki keahlian khusus tertentu terutama di bidang seni. Baik seni sastra atau musik. Dan umumnya beragama Islam sedang yang Hindu biasanya disebut "Pandit" (pundit).

Tidak semua pemusik dapat kehormatan mendapat julukan ustad. Beberapa seniman yang mendapat julukan ustad di India dan Pakistan antara lain: Ustad Salamat Ali Khan, Ustad Nusrat Fateh Ali Khan, Ustad Talib Hussain Pakhawaji, Ustad Muhammad Hussain Alvi, Ustad Tafo Khan, dan lain-lain.

Dr. Ali Jasim Salman dalam kitab Mausuah al- Akhta' al-Lughawiyah as-Syai'ah ( ﻣﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻷﺧﻄﺎﺀ ﺍﻟﻠﻐﻮﻳﺔ ﺍﻟﺸﺎﺋﻌﺔ) menguraikan sebagai berikut:

Kata ustadz (ﺃﺳﺘﺎﺫ) berasal dari bahasa Persia lama yang dalam bahasa aslinya ditulis istad (Persia, ﺇﺳﺘﺎﺩ). Dari segi arti ia mendekati kata khawaja (ﺧﻮﺍﺟﺔ) sebuah kata bahasa Parsi yang bermakna pengajar /guru, tuan, atau orang tua.

Menurut suatu pendapat, asal penyebutan "ustadz" berasal dari kisah sejarah di mana kalangan elit suatu komunitas tertentu (pra Islam) mendidik anak-anak mereka secara private dengan mendatangkan para pengajar ke istana mereka. Ketika mereka kuatir akan istri istri mereka takut berselingkuh dengan para guru private ini, maka mereka mengebiri guru privat tersebut supaya hati mereka tenang saat para guru itu memasuki rumah mereka. Orang yang dikebiri dalam bahasa kaum tersebut adalah 'ustadz'.

Seiring berjalannya waktu, maka setiap guru diberi julukan sebagai orang yang dikebiri. Saat praktik itu tidak terjadi lagi saat ini, maka julukan 'ustadz' lah yang dipakai saat ini.

Namun Al Khaffaji dalam Shifa al Ghalil fima fi Kalam al Arab min ad Adakhil tidak sependapat dengan asumsi di atas. Ia menyatakan: Kata ustadz dengan makna "orang yang dikebiri" tidak ada dalam kosakata para ahli bahasa maupun kalangan awam di era pra Islam. Karena ustadz mengajar anak kecil dengan gaji tinggi.

Kata ustadz tidak terdapat dalam syair Jahili (era pra Islam) dan bukanlah bahasa Arab. Ia berasal dari bahasa Persia. Semua huruf dalam ustadz adalah bentuk asal. Seandainya ia berasal dari bahasa Arab, niscaya huruf asalnya adalahastadza.

( ﺃﺳﺘـﺬ) ikut wazan fu'lal ( ﻓﻌﻼﻝ ) bukan dari satadza
( ﺳﺘـﺬ ). Apabila tidak, niscaya ia ikut wazan af'al
(ﺃﻓﻌﺎﻻ). Ini tidak ada dalam bahasa Arab.

Penduduk Irak (yang berbahasa Arab) memakainya karena hubungan mereka dengan bangsa Parsi. Lalu mereka pindah ke Teluk dan Suriah lalu ke belahan negara Arab yang lain.

Istilah ustadz lalu dimaknai secara umum sebagai profesi tenaga ahli seperti ahli hukum, pengacara di pengadilan di mana profesi ini setingkat dengan level pengajar di perguruan tinggi.

Kata ustadz tidak ada bentuk muannats (bentuk perempuan) karena ia bukan sifat. Jadi, yang benar adalah kata ustadz dipakai untuk laki-laki dan perempuan. (di Indonesia ustadz perempuan dipanggil ustazah, itu sebenarnya keliru)

Muhammad Al-Murtadha Az-Zubaidi dalam kitab Tajul Arus min Jawahiril Qamus menyatakan: Guru kami menjelaskan tentang kata ustadz. Kata ini berasal dari kata yang populer yang harus dijelaskan walaupun ia bukan berasal dari bahasa Arab. Huruf hamzah yang menjadi asal telah membuat penulis buku As-Syihab Al-Fayyumi memasukkannya dalam daftar huruf hamza. Ia mengatakan, ustadz adalah kata non-Arab, maknanya adalah orang yang ahli di bidang tertentu.

Menurut Al-Hafidz Abul Khattab bin Dihya dalam kitab Al-Muttarib fi Ash'ari Ahlil Maghrib demikian: Ustadz bukan kata bahasa Arab dan tidak terdapat di syair Jahiliyah. Masyarakat awam memakai kata ini apabila mereka mengagungkan orang yang disuka mereka menyebutnya dengan ustadz, seperti orang yang ahli dengan pekerjaannya. Karena ketika dia mendidik anak-anak maka seakan akan dia seorang ustadz karena kebaikan perilakunya. (*/)



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda